Di tengah rutinitas kerja yang padat, tenggat waktu yang tak henti menekan, dan kebutuhan hidup yang kian kompleks, siapa yang masih punya tenaga untuk belajar? Pertanyaan ini wajar muncul di benak banyak pekerja penuh waktu yang merasa bahwa semangat belajar hanya milik para mahasiswa atau mereka yang hidup dalam dunia akademik. Namun, di zaman yang menuntut adaptasi cepat dan kompetensi yang terus diperbarui, berhenti belajar adalah pilihan yang mahal.
Bukan hanya mahal secara karier, tetapi juga mahal secara eksistensial. Maka muncullah satu pertanyaan penting: bagaimana bisa tetap belajar secara konsisten sambil bekerja penuh waktu? Konsistensi belajar sambil bekerja bukanlah perkara teknis semata. Ia adalah laku hidup, seni menjaga nyala api rasa ingin tahu di tengah terjangan kenyataan. Tantangan pertama yang muncul adalah waktu.
Hari kerja yang dimulai pukul delapan dan selesai pukul lima, belum termasuk lembur dan kemacetan, seolah menelan semua kemungkinan untuk membuka buku, menonton kursus daring, apalagi merenungkan ilmu baru. Tetapi di balik dalih “tidak punya waktu”, tersembunyi realitas lain: barangkali kita tidak sedang kekurangan waktu, melainkan kekurangan cara pandang.
Kita hidup di era informasi. Ilmu tidak lagi harus dikejar dalam ruang kelas formal. Ia bisa dijumpai dalam potongan video lima menit, dalam podcast saat macet, dalam artikel singkat sebelum tidur. Belajar tak lagi harus menunggu waktu luang; ia menyelinap dalam sela-sela hidup, asal ada kesediaan membuka pintu. Yang dibutuhkan bukan waktu yang besar, melainkan perhatian yang tajam.
Di sinilah banyak pekerja terjebak: mereka menunggu waktu kosong untuk belajar, padahal belajar bisa tumbuh di sela kesibukan jika dibiasakan. Salah satu cara paling efektif untuk menjaga konsistensi belajar adalah dengan membuat pembelajaran relevan terhadap pekerjaan. Jangan bayangkan belajar sebagai kegiatan terpisah yang menguras energi ekstra. Jadikan ia bagian dari pekerjaan itu sendiri.
Seorang pemasar bisa mempelajari tren baru digital marketing di tengah proyek yang sedang dikerjakan. Seorang guru bisa belajar pedagogi baru saat menyiapkan materi. Seorang pegawai administrasi bisa menyelami teknik manajemen waktu dan efisiensi proses sambil menata ulang sistem kerjanya. Dengan begitu, belajar tidak terasa sebagai beban tambahan, melainkan sebagai bagian dari proses bertumbuh dalam profesi.
Relevansi saja tidak cukup. Diperlukan juga struktur. Banyak pekerja ingin belajar, tapi gagal konsisten karena tak punya rencana. Mereka berharap bisa “menyempilkan waktu” untuk belajar, tapi tanpa disiplin, waktu itu selalu dikalahkan oleh yang lebih mendesak. Maka perlu strategi: belajar setiap pagi selama 15 menit sebelum bekerja, atau satu jam setiap akhir pekan untuk membaca satu bab buku.
Rutinitas kecil, kalau dilakukan terus-menerus, akan menghasilkan efek majemuk yang luar biasa. Masalah berikutnya adalah energi. Tidak bisa dimungkiri bahwa bekerja penuh waktu itu melelahkan. Pada titik tertentu, tubuh dan pikiran butuh rehat. Di sinilah pembelajar dewasa perlu cerdas memilih cara belajar yang sesuai dengan ritme energinya. Jika terlalu lelah untuk membaca buku berat, pilihlah konten audio yang ringan namun bergizi.
Jika tak sanggup duduk lama di depan layar, cukup simpan pertanyaan yang bisa direnungkan dalam perjalanan pulang. Pembelajaran tidak harus selalu aktif. Refleksi, dialog batin, dan keterbukaan terhadap pengalaman sehari-hari pun adalah bentuk belajar yang sah. Kunci lain dalam konsistensi belajar sambil bekerja adalah dukungan lingkungan. Lingkungan kerja yang mendukung pembelajaran bisa membuat karyawan merasa aman untuk terus berkembang.
Jika lingkungan tidak mendukung, pembelajar perlu menciptakan komunitasnya sendiri, entah itu kelompok diskusi daring, forum pembelajar di media sosial, atau teman dekat yang saling menyemangati. Dalam era digital, kesendirian bukan alasan untuk berhenti bertumbuh. Kita juga perlu mengoreksi ekspektasi terhadap hasil belajar. Banyak yang ingin cepat mahir, cepat mendapatkan gelar, cepat naik pangkat.
Belajar yang sejati sering kali berproses lambat, penuh pengulangan, dan tak selalu memberi hasil langsung. Pembelajar dewasa yang bekerja harus belajar menikmati proses, bukan hanya mengejar hasil. Belajar satu teori baru, memahami satu konsep yang sebelumnya asing, atau bahkan hanya mempertanyakan kembali rutinitas sehari-hari itu sudah cukup sebagai kemajuan. Jangan remehkan langkah kecil.
Seperti anak tangga, satu demi satu akan membawa kita ke tempat yang lebih tinggi. Pada akhirnya, belajar sambil bekerja adalah keputusan eksistensial. Ia bukan sekadar untuk menambah keterampilan atau memperluas pengetahuan, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap stagnasi. Di dunia yang terus berubah, berhenti belajar adalah bentuk menyerah yang perlahan namun pasti akan menggerus daya hidup.
Sebaliknya, terus belajar dengan cara sekecil apa pun adalah bentuk keteguhan untuk tetap relevan, tetap hidup, dan tetap manusia. Menjadi pembelajar sambil bekerja bukan berarti menjadi superman yang tak kenal lelah. Justru sebaliknya: ia adalah orang biasa yang mengakui keterbatasan, tetapi memilih tetap bergerak. Ia tahu bahwa hidup bukan hanya tentang bekerja untuk bertahan, tetapi juga tentang bertumbuh untuk memberi makna.
Dalam keterbatasannya, ia menjadikan belajar sebagai laku harian, bukan proyek musiman. Ia belajar bukan karena disuruh, tetapi karena tahu: masa depan hanya milik mereka yang tidak berhenti bertanya. Jadi, jika Anda adalah seorang pekerja penuh waktu yang merasa jauh dari dunia belajar, barangkali sudah waktunya untuk berhenti menunggu waktu luang, dan mulai menciptakan ruang. Ruang itu bisa kecil, tak harus sempurna.
Dari situlah konsistensi tumbuh. Belajar tidak harus pamit dari pekerjaan. Ia bisa tumbuh bersamaan, menyatu dalam ritme hidup yang Anda jalani. Maka pertanyaannya bukan lagi “bagaimana caranya belajar sambil bekerja?”, tapi “apakah Anda bersedia menjadikan hidup Anda sebagai ruang belajar itu sendiri?”
Responses