Kisah Singkat Ekologi
Kisah ekologi awal kali muncul dari seorang ahli biologi, biasa dipanggil Mbah Von Haeckel. Ekologi, begitulah disebut untuk pertama kalinya pada tahun 1866. Istilah itu dibuat dari gabungan kata oikos (rumah) dan logos (ilmu). Secara teknis ekologi adalah bagian dari ilmu biologi. Kajiannya itu mempelajari interaksi makhluk hidup dengan makhluk hidup lain dan lingkungan sekitarnya.
Di tahun 1960-an rupanya istilah ekologi mulai beranjak populer. Karena saat itu orang-orang mulai mengkhawatirkan polusi, pola konsumsi energi, perluasan wilayah dan persediaan pangan. Kekhawatiran tersebut melahirkan kesadaran bahwa umat manusia butuh semacam metode pengelolaan yang tepat dan seimbang. Ternyata manusia juga perlu memperhatikan hubungan mereka dengan tetangganya (makhluk lain) dan tidak lupa tempat tinggalnya. Sejak saat itu ekologi sering disebut-sebut di kalangan aktivis rendahan, pecinta lingkungan elite, hingga pejabat pemerintah.
Mereka melakukan upaya nyata untuk memperbaiki kembali, atau setidaknya mencegah, kerusakan yang telah terjadi. Kepedulian itu melahirkan beberapa komunitas lingkungan seperti organisasi Greenpeace International yang didirikan tahun 1971 di Kanada. Komunitas serupa seperti World Wide Fund for Nature (WWF), Friends of the Earth International, The Nature Conservancy dan banyak lagi. Upaya mereka adalah menekan peningkatan polusi, deforestasi, perubahan iklim ekstrem, dan konsumsi sumber daya. Di antara programnya seperti penanaman pohon, penggunaan energi terbarukan, dan lain-lain.
Ekologi Sebagai Nilai Moral
Perbincangan tentang pentingnya menjaga lingkungan telah ramai bertebaran di sekolah-sekolah, di jalanan, pojok tongkrongan, dan beberapa komunitas kecil maupun besar. Banyak yang menyadari posisi lingkungan dan bagaimana seharusnya manusia memanfaatkannya. Namun demikian kesadaran semacam ini tidak lantas dimiliki semua orang, dan mungkin cuma segelintir yang betul-betul mengimani ide lingkungan. Karena faktanya, kekhawatiran umat manusia terus saja bertambah. Seiring waktu hutan terus saja menggundul, sungai terus mengeruh, udara terus berasap, dan manusia semakin merasa khawatir.
Semata pengetahuan saja belum cukup kuat untuk mengubah manusia secara signifikan. Karena pengetahuan berbeda dengan kesadaran, yang itu meliputi rasa tanggung-jawab. Mungkin berangkat dari kondisi ini, Arne Naess menggagas ekologi dari aspek yang sama sekali baru, yakni konsep Deep Ecology (DE). Bahwa ekologi, selain sebagai suatu disiplin ilmu, juga memiliki kait-kelindan dengan semacam nilai dan moral. Oleh karenanya, menjaga lingkungan termasuk bagian dari nilai moral. Di satu sisi, menjaga keseimbangan lingkungan berarti menjaga stabilitas hidup manusia sendiri. Di sisi lain, lingkungan dipandang sebagai suatu entitas yang juga berhak aman dari perusakan, sebagaimana manusia tidak mau diusik makhluk lain.
Wajah baru ekologi sedikit banyaknya tentu berpengaruh terhadap pandangan tentang lingkungan. Karena epistemologi yang ditekankan dalam moral bukan sebatas ‘benar dan salah’ sebagaimana sains, namun naik ke tingkat ‘baik dan buruk’. Lalu orang-orang mulai mempertanyakan tingkat keramahan lingkungan pada perusahaan tambang, pabrik mobil, energi nuklir, kegiatan deforestasi, dan lain-lain. Setidaknya kalau pun tidak mengobati kerusakan, yang penting tidak turut menambah perusakan.
Ekologi Sebagai Nilai Spiritual
Namun meski kita mengakui muatan moral dalam ekologi, kita tidak otomatis terlepas dari problem lingkungan. Karena nilai moral ekologi pada akhirnya harus berhadapan dengan nilai-nilai lain yang secara simultan juga menjadi prioritas kemanusiaan. Misalnya aspek ekonomi, infrastruktur, teknologi, pengembangan sains, dan segenap tujuan krusial kemanusiaan. Tidak jarang manusia dihadapkan pada pertimbangan berat, mengejar kemajuan atau mengorbankan aspek lingkungan.
Sering kali aspek lingkungan dinomorduakan—kalau tak mau disebut ‘mengabaikan’. Contohnya pertambangan Nikel di Raja Ampat baru-baru ini. Kita tidak membahas pertambangan Nikel, tapi mengenai tentang ‘apa’ yang terjadi di baliknya, yang bukan lain tentang pilihan prinsip; antara komersial dan lingkungan. Sama-sama penting, tapi yang lebih penting, pikir pegiat tambang, itu uang. Ternyata ekologi dipandang sebagai nilai moral pun masih kurang powerful.
Oleh karenanya paradigma moral saja belum cukup. Perlu ada peningkatan paradigma ekologi yakni dari nilai moral menjadi nilai Islam. Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim. Jika seluruh muslim di Indonesia menyadari bahwa prinsip ekologi ternyata merupakan bagian ajaran Islam, tentu negara kita akan mengalami perubahan signifikan dalam penerapan prinsip ekologi. Kita punya modal besar untuk memaknai lingkungan lebih dalam.
Sejatinya, Islam telah menegaskan peduli lingkungan. Al-Qur’an banyak menyinggung tentang bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan alam. Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi alam:(ومَآ أرْسَلْنٰكَ الَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ ۞) Dan tidaklah kami utus kamu kecuali sebagai rahmat kepada alam [Q.S Al-Anbiya’: 107]. Dalam beberapa tafsir, pemaknaan ‘alamin’ lebih ditekankan kepada umat manusia khususnya muslim. Namun dalam kaidah lughawi usul-fikih, ‘Alamin’ merupakan kalimat universal yang mencakup banyak partikular di dalamnya. Jadi bukan hanya manusia, tapi hewan, tumbuhan dan bahkan benda mati juga termuat dalam kalimat tersebut.
Al-Quran diturunkan dalam bentuk bahasa. Penjelasan Al-Quran tercermin langsung dalam tindakan Nabi Muhamad. Sementara tindakan Nabi Muhammad mendukung prinsip peduli lingkungan, baik secara eksplisit maupun tersirat. Beliau melarang menyiksa binatang: Barang siapa menyiksa suatu yang punya ruh kemudian, dan ia tidak bertobat, maka Allah akan menyiksanya di hari kiamat (HR. Abdullah bin Umar). Dalam etika keislaman kita bisa menemukan potret yang sangat menghargai entitas lain selain manusia. Misalnya larangan membebani binatang di luar batas kemampuan, menyembelih harus dilakukan segera—sekiranya tidak merasakan sakit yang lama, dan banyak lagi.
Selain itu tujuan awal manusia dicipta adalah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Al-Quran merekam dialog Allah dengan malaikat ketika hendak menciptakan manusia (Q.S Al-Baqarah: 10). Tanggung jawab khalifah antara lain sebagai penjaga, pengelola, penegak keadilan, dan penebar kebaikan di bumi. Tentu saja tanggung jawab tersebut merupakan amanah berat yang kita pikul bersama.
Dalam bahasa Arab, lingkungan disebut dengan al-bi’ah. Istilah ini telah menjadi bidang studi khusus (fikhul bi’ah/fikih lingkungan). Dalil-dalil dalam studi tersebut bersumber dari Al-Quran langsung. Beberapa kali al-Qur’an menyebut dan mendeskripsikan lingkungan yang manusia tempati untuk menyelipkan pesan. Misalnya pada ayat: Dialah Allah yang memanjangkan bumi dan menjadikan di dalamnya ada gunung-gunung dan sungai-sungai. Dan di setiap buah-buahan Allah menjadikannya berpasang-pasangan. Allah menutupkan malam pada siang. Sesungguhnya di situ terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Q.S ar-Ra’d : 3). Di sini Allah Swt mengajarkan bahwa alam merupakan media untuk tafakkur. Keindahan alam akan mengantarkan manusia menyadari kebesaran-Nya.
Banyak sekali Al-Quran secara eksplisit melarang manusia berbuat rusak di bumi. Di antaranya terdapat dalam Q.S al-A’raf : 56, Q.S al-Baqarah : 11-12, 30, 60, Q.S al-A’raf : 74, Q.S al-Qashash : 77, Q.S ar-Rum : 41, dan Q.S Yunus : 41. Masing-masingnya memiliki konteks yang berbeda namun dengan tujuan yang sama. Bahwa manusia tidak sepantasnya berbuat kerusakan, eksploitasi dan mengunggulkan kemanusiaan tanpa memerhatikan lingkungan.
Kesimpulan
Jadi, ekologi sebenarnya memiliki orientasi yang sangat luas. Di satu sisi, ekologi berperan sebagai instrumen keberlangsungan hidup manusia. Di sisi yang lebih penting lagi, ekologi juga memiliki andil dalam konteks hubungan spiritual seorang hamba dengan Tuhan. Karena lingkungan yang nyaman, suasana tenang, dan fisik yang sehat adalah syarat utama dalam menerapkan prinsip Islam seperti ibadah, muamalah, dan lain-lain. Maka seyogyanya kita memandang ekologi termasuk tuntutan syariat yang diajarkan Islam.
Daftar Pustaka
- Al-Qur’an Kareem.
- Djohar Maknun, 2017, EKOLOGI: Populasi, Komunitas, Ekosistem, Nurjati Press. Cirebon.
- Abdullah bin Umar, 1429 H, Ahkamul Bi’ah, Dar Ibn al-Jauzy, Riyadh—Saudi Arabia.
- Suanto Fatahuddin, 2017, Larangan Menyiksa Binatang, Tahdis, Vol. 8 No. 1
- Edra Satmaidi, 2015, Konsep Deep Ecology Dalam Pengaturan Hukum Lingkungan, Jurnal Penelitian Hukum Spremasi Hukum, Vol. 24 No. 2
- Henny HB. Heliwasnimar, Ardimen, 2024, Etika dan Moral Dalam Ilmu Pengetahuan, Indonesian Research Journal On Education, Vol. 4 No. 1
- Abdurrahman bin Abu bakar, 1431 H, jami’ul Ahadits,
Responses