Humanisme dan Humas Media Pondok Pesantren, Vitalitas dan Urgensi di Tengah Arus Informasi

Gambar Ilustrasi AI tentang Pondok Pesantren
Gambar Ilustrasi AI tentang Pondok Pesantren

Sudah beberapa bulan ini saya seperti sedang liburan dari menulis. Beberapa hal yang harus saya kerjakan, tuntut, dan cari, membuat saya mengabaikan kewajiban saya yang satu ini, menulis!. Yaps, saya menganggap itu sebuah kewajiban dan resiko seorang penuntut ilmu. Entah dari segi hukum Fiqh itu merupakan sunnah atau hanya mubah mungkin, namun rasa-rasanya aneh saja, ketika seorang yang pernah sekolah 16 tahun lamanya (SD, SMP, SMA, S1), namun hanya sibuk mencari nafkah dan tapi lupa memproduksi buah dari sekolahnya (tulisan misalnya). Sia-sia bukan?

Paragraf pertama hanya pengantar. Karena saya tidak tau mau mulai dari mana. Jujur, ketika berbicara tentang pesantren, sulit rasanya menentukan mulai dari mana harus memilih pembahasan. Apalagi melihat kondisi yang saat ini begitu carut marut, mulai dari berita politik yang penuh dengan kabar korupsi, tentang kebijakan pemerintah yang tidak nyambung dengan kebutuhan rakyat (ini dari lubuk hati loh), dan masih banyak lagi. Termasuk juga yang paling meresahkan bagi saya, yakni banyaknya berita negatif yang dialamatkan kepada salah satu jenis Lembaga Pendidikan yang selama ini saya ada di dalamnya hampir puluhan tahun; Pondok Pesantren.

Baik di Facebook, Tiktok, dan Instagram hampir semua platform selalu mengabarkan hal yang sangat menyedihkan tentang pondok pesantren, tentang kejahatan seksual utamanya. Sampai saat ini, saya masih mencari tahu, apakah ini hanya sebuah algoritma media sosial (karena saya pecinta kiyai, Fix utamanya Gus Baha) atau karena memang kejadian itu banyak terjadi dalam realita yang sebenarnya. Hal inilah yang membuat saya menulis sedikit opini ini.

Bukan untuk klarifikasi! Bukan yah . Ini hanya berbagi pandangan dan mindset terhadap dan dari berita-berita negatif tentang pondok pesantren. Selama ini, ketika ada berita yang mucul mengenai itu, banyak sekali komentar lurus dan tegak. Lurus menghina pesantren dan kiyainya, Tegak menghina semua para Gus dan tokoh Islam tanpa pandang bulu.

Pertanyaan sederhana sebenarnya. Mungkinkah mereka yang setiap hari (santri) membaca kitab suci dan ilmu agama, akan bisa lebih jahat dan sang* daripada mereka yang hanya sesekali membaca kitab suci, ngaji di youtube, dan mungkin jarang shalat? Apakah penilaian kita selama ini tidak cacat logika dalam hal membandingkan pesantren dan lembaga pendidikan lain? Ataukah mungkin karena seseorang terlalu sering mempelajari agama wataknya bisa berubah menjadi lebih negatif? Jawaban paling umum yang sering kita dengar pasti Kembali ke Pribadi masing-masing. Bagi saya, sebenarnya itu tidak cukup menguraikan alasan dari fenomena, hanya sebuah alasan bahwa kita belum mampu menjawab secara keilmuan. Dan membuktikan sebenarnya banyak hal yang tidak bisa kita jawab secara pasti.

Maka dengan tulisan ini, mari kita bersama rekontruksi kembali nalar kita akan semua hal itu. Jiahhh

Kembali ke Makna Sejatinya

Pondok Pesantren sebagaimana kita ketahui, terdiri dari dua suku kata. Pondok, dalam KBBI kurang lebih disebutkan ada 4 makna, salah satunya adalah madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam). Namun saya lebih cocok dengan makna yang pertama yaitu bangunan untuk tempat sementara. Bagi saya, ini makna yang paling tepat menggambarkan bahwa pondok jika dikaitkan dengan pesantren, bermakna sebagai tempat sementara dimana santri tinggal untuk belajar tentang ilmu agama dan menempa perilakunya. Penekanan sementara ini, karena suatu saat santri akan meninggalkan tempat itu untuk keluar melaksanakan tugas agama dan bangsanya. Paling tidak itu materi orientasi pondok yang biasa kita dengar awal-awal kita masuk pondok.

Sedangkan Pesantren sendiri, dalam KBBI berarti asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. Menurut saya, KBBI sendiri juga tidak paham apa itu pesantren. Kalau kita lihat secara umum tentang pandangan Kementerian Agama, pesantren adalah sebuah bentuk, sistem, dan jenis lembaga pendidikan yang khas siswa/santrinya tinggal di asrama. Ini yang membedakan dengan jenis lembaga lain. Jadi pesantren bukanlah asrama dan bangunannya, pesantren adalah jenis pendidikannya. Sedangkan Pondok itulah tempat tinggalnya. (menjelaskan dengan nada rendah).

Standar Kementerian Agama sendiri sudah menentukan kriteria lembaga pendidikan yang bisa dikategorikan sebagai Pondok Pesantren. Di antara kriteria tersebut adalah ada bangunan Masjid, ada Kiyai, ada santri yang tinggal, dan minimal mempelajari disiplin ilmu agama. Meski secara formal, Pondok Pesantren tidak mengeluarkan ijazah setingkat SMP, SMA (hanya ijazah pondok) namun kebijakan lain mendorong pesantren agar membuat lembaga pendidikan di bawah naungannya, misalnya dalam bentuk Madrasah, PPS, PDF, DINTAK, dan sejenisnya. Hal itulah mengapa dalam sebuah Pondok Pesantren, sering kita jumpai masih ada lembaga pendidikan di bawahnya. Misalnya saja Pondok Pesantren A, namun punya Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah, PPS atau PDF. Hal ini untuk menyesuaikan tingkat pendidikan formal yang ada di Indonesia dan tentu untuk memenuhi administrasi pemerintah.

Dari pengertian ini, kita bisa menyimpulkan Pondok Pesantren adalah lembaga yang memang dibuat untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu agama di masyarakat. Pondok Pesantren tidak bisa disamakan dengan Madrasah biasa yang cuma sekolah pada jam sekolah (08.00-15.00). Pondok Pesantren lebih daripada itu. Di dalamnya ada aktifitas keseharian mulai dari bangun tidur sampai dengan tidur kembali, semua di atur sedemikian rupa oleh pembinanya. Adapun Madrasah di dalam Pondok Pesantren, hanya sebagian kecil dari aktifitas mereka. Setelah Madrasah selesai jam belajarnya, Pondok Pesantren tetap melanjutkan pembinaan mereka selama 24 jam. Mendidik santri agar kehidupan mereka kelak menjadi orang baik dan sesuai ajaran agama.

Pondok Pesantren tidak bisa pula disamakan dengan barak tentara yang hanya melatih fisik tanpa ada nilai spritual. Pondok Pesantren dalam bentuk idealnya, selalu punya kewajiban membimbing spiritual dan santri melalui kiyai-kiyai mereka, pembina-pembina mereka, dan guru-guru mereka. Ini bukan bahasa yang dilebih-lebihkan. Silahkan baca sendiri sejarah panjang pondok pesantren di Indonesia. Sejak masa masuknya Islam di Indonesia, pesantren (dalam bahasa lain) sudah berperan menciptakan manusia-manusia spritual yang menyebarkan ajaran agama. Pada masa penjajahan, pesantren menjadi salah satu benteng pertahanan melawan penjajah. Pada masa persiapan kemerdekaan, tokoh-tokoh pesantren berperan  memasukkan nilai-nilai keislaman dalam konsep kebangsaan. Dan sampai dengan saat ini, yang dimana kita sudah merdeka, pesantren banyak berperan menyumbang tokoh-tokoh penting dalam mengisi kemerdekaan, salah satunya adalah Guru Bangsa kebanggaan kita, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjadi simbol toleransi antar ummat beragama di Indonesia, dan pernah menjadi Presiden Indonesia yang ke- …. (isi sendiri) meski dilengeserkan oleh mayoritas Perwakilan Rakyat kala itu.

Lantas dari sejarah panjang itu, apa yang membuat citra Pondok Pesantren menjadi buruk saat ini? Mungkinkah semuanya memang berubah atau tidak ada yang berubah, hanya persepsi kita saja yang berubah karena hantaman media yang seperti sengaja menyudutkan lembaga ini?

Framing Media vs Fakta Sesungguhnya

Disini saya berusaha seobjektif mungkin mengingat saya sendiri adalah alumni pondok pesantren (meski tidak santri-santri amat perilakunya). Saya paham betul bagaimana framing saat ini terhadap pondok pesantren di Media. Tentu jika anda bagian dari sesuatu, anda akan lebih peka memahami hal yang terjadi dengan sebagian diri anda tersebut. Hal demikianlah yang terjadi pada seluruh santri saat ini. Mereka cukup merasakan dampak dari frame media terhadap mereka. Namun, bukan berarti kita harus menutup mata terhadap fakta di lapangan bahwa, memang ada oknum-oknum tertentu yang perilakunya membuat Pondok Pesantren ikut terkena dampak trust issue yang buruk.

Dimulai dari banyaknya pemberitaan tentang kejahatan seksual yang terjadi di dalam pondok pesantren. Para kiyai yang menodai santriwatinya, pelecehan yang dilakukan oleh oknum pondok pesantren, atau banyaknya perselingkuhan yang melibatkan tokoh-tokoh agama yang berasal dari pesantren. Ini adalah fakta di lapangan, meski sebagian ada yang dilebih-lebihkan. Saya percaya bahwa sebagian berita tersebut dilebih-lebihkan (bahkan ada yang tidak dicek faktanya) karena ini terjadi pada salah satu guru kami. Semoga tuduhan terhadap beliau segera dibersihkan.

Permasalahan utamanya adalah bukan hanya pada framing media itu sendiri, namun nalar sebagian masyarakat yang terkadang kurang objektif menilai fenomena tersebut. Mereka tidak lagi berpikir secara persentatif misalnya, dan cenderung menyama ratakan semua pondok pesantren adalah sarang kejahatan seksual. Masyarakat tidak lagi pandai berhitung, dari 100 kejadian kejahatan seksual misalnya, berapa yang terjadi di dalam pondok pesantren. Bahkan ada yang sampai berpikir begini: “Jauh lebih lebih baik menyekolahkan anakanya di sekolah umum, karena akhlaknya akan lebih baik dan terbebas dari kejahatan seksual”. Jujur, saya hanya tertawa mendengarnya. Mereka mungkin kurang update dan tidak tahu apa yang anak SMA sekarang sering lakukan ketika jam istirahat dan pulang sekolah, apa yang mereka tonton, atau apa yang mereka lakukan terhadap teman lawan jenis.

Saya sama sekali tidak merendahkan SMA apa pun bentuknya, tapi membandingkan Pondok Pesantren dan SMA dalam kejahatan seksual bukanlah perbandingan yang lurus. Mengapa, karena kejahatan seksual yang terjadi di sekolah SMA, mungkin saja lebih banyak. Bahkan mungkin, dalam satu sekolah kita akan selalu mendapatkan perilaku mesum dari siswa kepada temannya, atau perselingkuhan sesama guru, atau mungkin guru kepada siswanya.

Kalau tidak percaya, silahkan periksa SMA terdekat rumah anda, berapa siswa-siswanya yang pacaran, berapa di antara mereka yang jalan berduaan, baku boncengan, pegangan tangan, dan pergi ke tempat sepi. Apakah kita menganggap semua itu hal normal andai jika perilaku itu terjadi pada anak kita? Tentu tidak bukan?. Atau silahkan cari berita perselingkuhan oknum guru di sekolah (non pesantren), itu sudah  seperti rahasia umum yang kadang tidak lagi dianggap aib, bahkan sesekali hanya dijadikan cerita candaan. Dan tidak sedikit pula kasus guru yang memacari muridnya dan melakukan tindakan yang tidak senonoh, dan sayangnya, oleh kebanyakan orang, itu tidak dianggap melecehkan karena sama-sama mau (ah sudahlah).

Bedanya, Media tidak pernah menyoroti itu semua dan tidak mengaggapnya sebagai isu besar.  Beda halnya dengan pondok pesantren, sedikit saja melenceng dari koridor agama, maka Media dengan sigap mencari kabar dan mengangkatnya, memviralkannya dan melabelinya. Inilah yang saya maksud dengan Framing Media.

Dari sini kita harusnya menekankan pada diri sendiri, bahwa kejahatan tidaklah punya prasyarat pesantren terlebih dahulu. Kejahatan yang dilakukan oleh oknum yang bukan pesantren, harus pula kita hitung sebagai kejahatan. Hal ini membuat kita semakin objektif dalam menilai fenomena ini.

Namun hal yang perlu memang penekanan disini adalah risiko dari sebuah label agama itu adalah cepat viral untuk netizen Indonesia. Pelaku agama yang bergaya religius, cenderung lebih mendapat hukuman sosial lebih jika melakukan kesalahan. Dan mindset kebanyakan orang adalah, religius harus suci dari dosa, dan jika melakukan dosa, maka hukumannya berkali lipat. Padahal hakikatnya, kewajiban menjalanakan agama adalah sisi lain, sedangkan melakukan dosa adalah sisi lain yang kadang tidak berhubungan. Bisa saja hari ini kita saleh dan esok kita maksiat, atau sebaliknya. Yang pada intinya, tidak ada lembaga apapun di Indonesia yang menganggap kejahatan seksual itu sebagai hal yang normal, semua lembaga pendidikan sedang berusaha melawan keburukan sosial itu.

Peran Media Pondok Pesantren: Menghidupkan Kembali Humanisme dan Humas

Dari semua fenomena yang ada, tentu sebagai pondok pesantren harusnya tidak tinggal diam dalam menghadapi semua ini. Santri yang punya kewajiban menjaga martabat diri dan lembaganya, harus memperlihatkan citra diri yang baik, santun, dan agamis dan selalu mensosialisasikan perilaku yang humanis. Istilah ikhlas dalam beribadah adalah persoalan individu, namun memperbaiki citra itu adalah kewajiban sosial yang harusnya dilakukan oleh setiap santri.

Sisi humanisme dari sebuah lembaga pondok pesantren haruslah pula diangkat sebagaimana mengangkat sisi religius. Mengapa? karena masih banyak orang yang beranggapan bahwa santri hanyalah seorang manusia yang hanya paham akan keislaman dari segi ubudiyahnya saja. Mereka lupa bahwa dalam keislaman sendiri, ada dimensi muamalat dan sosial kultural yang jauh lebih keren selama berabad-abad diterapkan ulama. Ini yang jarang dimunculkan dan dicuatkan santri saat ini.

Masih jarang media santri atau pondok pesantren mengangkat isu kemanusiaan, pembelaan terhadap martabat perempuan, keadilan sosial bagi rakyat, demokrasi yang adil sesuai ajaran islam, dan isu-isu  lainnya. Media pondok lebih cenderung menyebarkan kegiatan mereka dalam lembaganya, yang mereka sendiri yang paham apa yang mereka lakukan, tanpa memberikan caption dan juga relevansinya terhadap ummat.

Humanisme dan Humas adalah kunci memperbaiki kembali citra lembaga di tengah kuatnya arus informasi yang bisa memframing apa saja dalam bentuk bagaimanapun. Jika humanisme adalah jalan menuju paripurna (insan kamil) selain persoalan spritual, maka Humas adalah jalan risalah yang diajarkan para Nabi sesuai dengan syiar dan syariat. Bukan untuk mencalonkan gubernur atau bupati, tapi semua humanisme dan humas itu adalah untuk menaikkan kembali martabat pondok pesantren secara khusus, dan secara keseluruhan untuk muruah ummat Islam.

Kesimpulan? Berhentilah menghabiskan waktu menonton series film Bidaah!!

    Cinulu adalah platform terbuka bagi para pelajar untuk berbagi karya melalui tulisan dalam bentuk artikel, opini, sampai dengan rekomendasi buku. Kamu juga bisa menulis disini dengan cara bergabung sebagai anggota di website ini. Gratis!

    Responses

    Bagikan post ini!

    Buku