Kuswanto, Guru dari Pelosok Sigi yang Jadi Pelita Literasi dan Raih Penghargaan Nasional

Kuswanto, S.Pd., saat menerima penghargaan dari Presiden RI Prabowo Subianto, Jakarta International Velodrome, Jakarta, Kamis (28/11/2024). (Foto: Youtube)
Kuswanto, S.Pd., saat menerima penghargaan dari Presiden RI Prabowo Subianto, Jakarta International Velodrome, Jakarta, Kamis (28/11/2024). (Foto: Youtube)

Sigi, Sulawesi Tengah – Dalam sunyi pelosok desa Kayumpia, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, seorang guru bernama Kuswanto menjadi terang di tengah keterbatasan. Sejak tahun 1993, Kuswanto telah mengabdikan dirinya sebagai pendidik. Namun, bukan hanya lamanya masa pengabdian yang membuat namanya harum, melainkan dedikasi, inovasi, dan perjuangan tanpa pamrih dalam membangun generasi bangsa, bahkan dari daerah yang termasuk kategori 3T: tertinggal, terdepan, dan terluar.

Lahir di Ciamis, 18 Mei 1971, Kuswanto tumbuh dalam lingkungan sederhana. Pada tahun 1982, keluarganya mengikuti program transmigrasi dari Pangandaran, Jawa Barat, ke Desa Wanamukti, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dari sinilah cerita pengabdian itu bermula.

Benih Guru yang Tumbuh dari Keterbatasan

Kuswanto kecil tidak lahir dari keluarga guru, namun nasib membawanya mengenal tanggung jawab pendidikan sejak usia dini. Saat duduk di kelas 6 di SD Inpres 2 Wanamukti, ia diberikan tugas luar biasa: mengajar murid kelas 3 karena tidak ada guru yang tersedia. Situasi tersebut terjadi karena sekolah hanya memiliki satu orang guru dan satu kepala sekolah yang membagi waktu mengajar di beberapa kelas.

“Guru hanya satu, kepala sekolah harus mengajar kelas atas. Akhirnya saya, sebagai murid kelas 6, ditunjuk untuk membimbing adik kelas dengan dibimbing langsung oleh kepala sekolah,” kenangnya.

Momen itu menjadi titik balik yang menanamkan motivasi dalam diri Kuswanto untuk menjadi guru. Ia menyadari bahwa menjadi guru bukan hanya soal profesi, tetapi pengabdian—memberi meski tak memiliki, hadir meski tak diminta.

Menempuh Pendidikan dengan Keringat dan Tekad

Selepas lulus dari SMPN 2 Taopa, Moutong, Donggala, Kuswanto melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Kota Palu. Namun perjuangannya tidak mudah. Jarak yang ditempuh untuk bersekolah saat SMP mencapai 16 kilometer yang ia lalui dengan berjalan kaki setiap hari.

Saat menempuh pendidikan SPG, ia tidak memiliki biaya mencukupi. Untuk bertahan, Kuswanto tinggal di rumah orang lain dan bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART)—sebuah kondisi yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “anak tinggal”. Ia membantu pekerjaan rumah tangga sebagai imbalan untuk bisa tinggal dan makan, sembari mengejar pendidikan.

“Setelah tamat SPG tahun 1990, saya kembali ke desa untuk menjadi guru honorer di SD Inpres 1 Wanamukti,” tuturnya.

Menjadi Guru Honorer hingga Pegawai Negeri

Belum genap 20 tahun usianya, Kuswanto sudah berdiri di depan kelas sebagai guru. Ia mengabdi sebagai guru honorer selama beberapa tahun hingga akhirnya pada tahun 1995, mendapatkan SK Pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Selama 11 tahun mengajar di SD Inpres 1 Wanamukti, Kuswanto terus menambah kapasitas dirinya. Pada tahun 2001, ia melanjutkan pendidikan di Program Studi PPKn, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako, Palu, dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan tinggi bukanlah tujuan akhir baginya, melainkan jembatan untuk mengabdi lebih baik.

Mengabdi di SDN Kayumpia dan Lahirnya Gubuk Baca

Tahun 2022 menjadi tahun penting dalam perjalanan pengabdian Kuswanto. Ia ditugaskan mengajar di SD Negeri Kayumpia, sebuah sekolah dasar di desa terpencil dengan kondisi pendidikan yang masih tertinggal.

Saat pertama kali mengajar Kelas 5 di sekolah tersebut, Kuswanto dihadapkan pada realitas yang mengkhawatirkan. Dari tujuh murid yang ia ajar, beberapa di antaranya belum bisa membaca dengan lancar. Padahal mereka akan segera naik ke kelas 6.

Faktor penyebabnya kompleks. Jarak rumah ke sekolah yang jauh membuat kehadiran murid tidak stabil. Selain itu, saat musim panen tiba, anak-anak di sana ikut orang tua mereka ke ladang. Aktivitas belajar pun terganggu.

Melihat kondisi ini, Kuswanto tak tinggal diam. Ia ingin memastikan bahwa semua anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Maka pada November 2022, ia mendirikan sebuah tempat belajar sederhana bernama Gubuk Baca—berlokasi dekat permukiman murid-muridnya agar mudah diakses setiap hari.

“Setiap pulang sekolah saya ke Gubuk Baca, mengajar mereka membaca dan mengejar ketertinggalan pelajaran,” katanya.

Dampak Nyata: Dari Tidak Lancar Membaca hingga Lulus ke SMP

Hasil kerja keras Kuswanto berbuah manis. Dalam waktu enam bulan, ketujuh muridnya yang sebelumnya kesulitan membaca kini sudah melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP.

Tak hanya itu, Gubuk Baca kini juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Tidak hanya anak-anak, orang tua dan bahkan guru-guru di Kayumpia turut mengakses tempat ini sebagai sarana belajar.

Sebagai bentuk kepedulian total terhadap pendidikan anak-anak, Kuswanto bahkan mengantar jemput murid menggunakan sepeda motor agar mereka tetap hadir di sekolah, terutama saat hujan atau kondisi jalan yang sangat buruk.

Kuliah Lagi di Usia 53 Tahun

Meski telah mengabdi lebih dari tiga dekade, semangat belajar Kuswanto tak pernah padam. Tahun 2024, di usia ke-53, ia melanjutkan pendidikan ke jenjang magister melalui Program Studi Magister Teknologi Pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Ia lolos dalam seleksi Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL), sebuah program yang mengakui pengalaman kerja dan kompetensi lapangan sebagai bagian dari syarat pendidikan. Ia memilih Teknologi Pendidikan karena melihat pentingnya teknologi dalam memperluas akses dan kualitas pembelajaran, terutama di wilayah 3T.

“Saya merasa sangat bersyukur bisa diterima di UMJ. Para dosennya sangat menghargai kami yang berasal dari pelosok. Saya juga merasakan dukungan yang luar biasa dari teman-teman mahasiswa dan tenaga kependidikan,” ucapnya.

Raih Penghargaan Nasional: Dari Kabupaten Hingga Presiden

Dedikasi dan pengabdian Kuswanto tidak luput dari perhatian berbagai pihak. Pada tahun 2024, ia dianugerahi beragam penghargaan nasional, antara lain:

  • Guru Aktif Literasi Sekolah dan Pembina Literasi Sekolah dari program Nyalanesia.

  • Guru Penggerak Angkatan 7 dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sigi.

  • Terbaik 1 Guru Dedikatif se-Sulawesi Tengah.

  • Terbaik 1 Guru Anugerah ASN Nasional dari KemenPAN-RB.

  • Anugerah Guru Hebat Indonesia dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia.

Pencapaian ini menjadi bukti bahwa pengabdian di pelosok pun bisa menggema hingga pusat. Kuswanto menunjukkan bahwa guru bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa.

“Saya ingin tetap menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk dalam kehausan. Guru memang bukan orang hebat, tapi dari guru lahir orang-orang hebat,” tutupnya.

Kesimpulan

Kisah Kuswanto adalah gambaran nyata bahwa harapan bisa tumbuh di tempat yang paling sederhana sekalipun. Dari langkah kecil membimbing murid yang tak bisa membaca, hingga berdiri di panggung penghargaan nasional, semua berangkat dari satu niat: ingin mencerdaskan anak bangsa.

Dedikasi seperti Kuswanto adalah kekuatan tersembunyi bangsa ini. Mereka adalah tulang punggung sistem pendidikan yang tak hanya mengajar, tapi juga menginspirasi dan menghidupkan harapan.

Cinulu adalah platform terbuka bagi para pelajar untuk berbagi karya melalui tulisan dalam bentuk artikel, opini, sampai dengan rekomendasi buku. Kamu juga bisa menulis disini dengan cara bergabung sebagai anggota di website ini. Gratis!

Responses

Bagikan post ini!

Buku