Pernahkah kita bertanya-tanya, bagaimana cara manusia mulai berpikir secara sistematis tentang dunia? Bagaimana penjelasan mitologis tentang dewa-dewi dan kekuatan gaib bergeser menjadi upaya untuk memahami alam semesta melalui akal dan observasi? Di balik setiap kemajuan ilmiah dan pemikiran filosofis yang kita nikmati hari ini, ada sebuah titik awal, sebuah percikan api yang menyalakan obor penalaran. Percikan api itu berasal dari seorang pria yang hidup ribuan tahun lalu, jauh di kota kuno Miletus. Namanya adalah Thales.
Bagi mahasiswa filsafat, nama Thales adalah nama yang tak asing lagi, sering disebut sebagai “Bapak Filsafat Barat”. Namun, bagi banyak orang, kontribusinya mungkin kurang dipahami secara mendalam. Padahal, peran Thales jauh melampaui sekadar sebutan. Ia adalah figur sentral yang menjembatani dunia mitos dengan dunia akal, seorang visioner yang pertama kali berani menyingkirkan penjelasan supernatural demi mencari prinsip-prinsip alamiah. Melalui pemikirannya, Thales tidak hanya melahirkan filsafat, tetapi juga meletakkan fondasi bagi ilmu pengetahuan itu sendiri.
Artikel ini akan membawa kita menyelami kehidupan dan pemikiran Thales secara komprehensif. Kita akan memahami mengapa ia begitu penting, menelusuri latar belakangnya di Miletus, mendalami revolusi rasional yang ia bawa, menganalisis teori ikoniknya tentang air sebagai arche, serta membahas konsep hylozoisme yang revolusioner. Pada akhirnya, kita akan melihat bagaimana warisan abadi Thales terus relevan dan memengaruhi cara kita memandang dunia hingga hari ini. Bersiaplah untuk sebuah perjalanan intelektual kembali ke akar pemikiran Barat, dipandu oleh sosok Thales, sang pionir sejati.
Pendahuluan: Mengapa Thales Penting?
Mengapa kita harus meluangkan waktu untuk memahami seorang filsuf kuno yang hidup ribuan tahun lalu, yang bahkan tidak meninggalkan satu pun tulisan orisinalnya? Jawabannya sederhana: Thales adalah titik nol. Ia adalah titik balik kritis dalam sejarah pemikiran manusia. Sebelum Thales, penjelasan tentang dunia didominasi oleh mitos, kisah-kisah tentang dewa-dewi yang mengatur setiap aspek kehidupan dan fenomena alam. Jika ada badai, itu karena Zeus sedang murka. Jika terjadi gempa bumi, itu karena Poseidon sedang menggerakkan trisulanya. Dunia adalah panggung bagi kehendak ilahi yang tak terduga.
Thales adalah orang pertama yang secara radikal mengubah paradigma ini. Ia mengajukan pertanyaan yang fundamental dan berani: “Mungkinkah ada penjelasan alami, bukan supernatural, untuk fenomena-fenomena ini?” Pertanyaan sederhana inilah yang menjadi cikal bakal pemikiran rasional dan penyelidikan ilmiah. Thales adalah pelopor yang melihat alam semesta bukan sebagai arena mainan para dewa, tetapi sebagai sistem yang memiliki prinsip-prinsip intrinsik yang dapat dipahami oleh akal manusia.
Pentingnya Thales tidak terletak pada keakuratan ilmiah dari teori-teorinya (yang tentu saja terbatas oleh zamannya), melainkan pada metodologinya. Ia adalah yang pertama mencoba menjelaskan realitas melalui observasi dan penalaran logis, bukan melalui narasi dogmatis atau takhayul. Inilah esensi dari filsafat dan ilmu pengetahuan: mencari kebenaran berdasarkan bukti dan argumen rasional. Tanpa langkah fundamental yang diambil oleh Thales, peradaban Barat mungkin tidak akan pernah mengembangkan tradisi ilmiah yang kita kenal sekarang. Ia adalah jembatan yang menghubungkan era mitos dengan era logos (akal). Mempelajari Thales berarti memahami bagaimana akal budi manusia mulai membebaskan diri dan berani menjelajahi misteri alam semesta dengan cara yang baru.
Biografi Singkat Thales: Sang Visioner dari Miletus
Untuk memahami pemikiran Thales, ada baiknya kita melirik sekilas latar belakang hidupnya. Thales lahir di kota Miletus, sebuah metropolis yang dinamis dan makmur di Ionia, yang kini merupakan bagian dari Turki modern, sekitar abad ke-7 hingga ke-6 SM. Miletus pada masa itu bukan sekadar kota biasa; ia adalah pusat perdagangan dan kebudayaan yang ramai, sebuah “melting pot” ide-ide dari berbagai peradaban seperti Mesir, Mesopotamia, dan Lydia.
Lingkungan kosmopolitan Miletus ini sangat kondusif bagi perkembangan pemikiran progresif seperti Thales. Para pedagang membawa tidak hanya barang dagangan, tetapi juga gagasan, teknologi, dan sistem pengetahuan dari berbagai penjuru Mediterania. Di Miletus, tidak ada dominasi kuat dari tradisi keagamaan atau kasta pendeta seperti di Mesir atau Babilonia, yang memungkinkan adanya ruang lebih besar untuk kebebasan intelektual dan spekulasi rasional.
Thales dikenal bukan hanya sebagai seorang filsuf, tetapi juga sebagai seorang polimatik, seorang individu dengan keahlian di banyak bidang. Catatan sejarah (meskipun sebagian besar berasal dari sumber sekunder seperti Aristoteles, Herodotus, dan Diogenes Laertius) menggambarkan Thales sebagai seorang ahli matematika, astronom, dan bahkan insinyur. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah prediksinya tentang gerhana matahari pada tahun 585 SM, yang konon membuatnya terkenal dan dihormati. Prediksi ini, jika benar, menunjukkan pengetahuannya yang mendalam tentang pergerakan benda-benda langit, kemungkinan besar dipelajari dari bangsa Babilonia.
Kisah lain menceritakan bagaimana Thales menggunakan pemahamannya tentang cuaca dan tanda-tanda alam untuk memprediksi panen zaitun yang melimpah. Ia kemudian menyewa semua penggilingan zaitun di Miletus dan sekitarnya, lalu menyewakannya kembali dengan harga tinggi saat panen tiba, menghasilkan keuntungan besar. Kisah ini, terlepas dari kebenarannya, menyoroti bahwa Thales bukan sekadar pemikir abstrak; ia adalah seseorang yang mampu menggabungkan teori dengan praktik, sebuah kombinasi yang sangat jarang ditemukan di zamannya dan menjadi ciri khas pendekatan ilmiah.
Sayangnya, Thales tidak meninggalkan karya tulis apa pun yang sampai kepada kita secara langsung. Semua yang kita ketahui tentang dirinya berasal dari fragmentasi catatan dan interpretasi filsuf dan sejarawan yang hidup setelahnya, terutama Aristoteles yang sering menyebutnya. Ini tentu saja menimbulkan tantangan dalam merekonstruksi pemikirannya secara pasti, namun tidak mengurangi signifikansinya. Justru, fakta bahwa ia begitu sering disebut dan dihormati oleh para pemikir besar di kemudian hari menegaskan posisinya sebagai pelopor sejati. Gambaran yang muncul tentang Thales adalah seorang pemikir yang visioner, yang berani melampaui batas-batas tradisi dan dogma. Ia tidak hanya mengamati dunia, tetapi juga berusaha memahami mekanisme di baliknya, sebuah langkah fundamental yang membedakannya dari para pemikir sebelumnya dan menjadikannya figur ikonik dalam sejarah intelektual.
Revolusi Rasional Thales: Dari Mitos ke Akal Budi
Salah satu sumbangsih Thales yang paling monumental dan transformatif adalah keberaniannya untuk melepaskan diri dari penjelasan mitologis tentang alam semesta. Di zamannya, setiap fenomena alam—mulai dari hujan, badai, gunung meletus, hingga penyakit dan kematian—dijelaskan sebagai manifestasi kehendak dewa-dewi yang memiliki sifat, emosi, dan konflik seperti manusia. Jika ada kemarau panjang, Demeter (dewi pertanian) mungkin sedang tidak senang. Jika kapal karam, Poseidon (dewa laut) mungkin sedang murka. Dunia adalah arena bagi kekuatan-kekuatan gaib yang tidak dapat diprediksi atau dikendalikan oleh manusia.
Thales adalah salah satu yang pertama, jika bukan yang pertama, yang menolak pendekatan ini secara fundamental. Ia tidak lagi puas dengan dongeng-dongeng para dewa yang arbitrer dan tidak konsisten. Sebaliknya, ia mengajukan pertanyaan yang revolusioner: “Mungkinkah ada penjelasan alami untuk semua ini?” Ini adalah sebuah lompatan intelektual yang sangat besar. Dengan pertanyaan ini, Thales secara implisit menyatakan bahwa alam semesta bukanlah entitas yang kacau dan diatur oleh kemauan ilahi yang berubah-ubah, melainkan sebuah tatanan yang dapat dipahami, sebuah sistem yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip intrinsik yang tetap dan dapat diidentifikasi.
Pendekatan ini adalah sebuah revolusi epistemologis. Dengan menyingkirkan dewa-dewi dari persamaan, Thales membuka pintu bagi penalaran rasional dan pengamatan empiris. Ia mendorong manusia untuk menggunakan akal budi (logos), untuk mencari bukti melalui observasi, dan untuk membangun argumen yang logis berdasarkan apa yang bisa mereka lihat dan amati di dunia nyata, alih-alih menerima penjelasan berdasarkan kepercayaan atau tradisi semata. Ini adalah tonggak sejarah yang menggeser fokus dari “siapa yang melakukannya?” (pertanyaan mitologis) menjadi “bagaimana cara kerjanya?” (pertanyaan filosofis dan ilmiah).
Inilah yang membedakan Thales dari para penyair dan ahli agama sebelumnya. Para penyair seperti Homer dan Hesiod merekam dan menyebarkan mitos; mereka tidak mempertanyakannya. Thales, di sisi lain, tidak hanya mengamati dunia, tetapi juga berusaha memahami mekanisme di baliknya secara sistematis. Ia mencari hukum alam yang universal, bukan kehendak dewa yang spesifik.
Transformasi ini adalah awal mula dari pemikiran ilmiah. Filsafat Thales bukan hanya tentang mencari jawaban, tetapi juga tentang mengubah cara kita bertanya. Ia mengajarkan bahwa alam semesta tidak kacau, melainkan teratur dan dapat dijelaskan melalui akal budi manusia. Keberanian Thales untuk meragukan penjelasan yang diterima secara umum dan mencari alternatif rasional adalah fondasi dari sikap skeptis yang sehat, yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ia menunjukkan bahwa pembebasan pikiran dari belenggu takhayul dan dogma adalah langkah pertama menuju pemahaman yang lebih dalam tentang realitas. Dengan demikian, Thales benar-benar menjadi bapak bagi tradisi filsafat Barat yang mengedepankan rasionalitas dan penyelidikan sistematis.
Pencarian Arche: Air sebagai Prinsip Dasar Alam Semesta
Setelah menolak penjelasan mitologis, pertanyaan besar yang muncul adalah: jika bukan para dewa, lalu apa yang menjadi dasar dan asal mula segala sesuatu di alam semesta? Inilah inti dari pemikiran Thales yang paling terkenal dan sering dibahas: pencarian prinsip dasar, atau yang ia sebut “arche” (ἀρχή). Dalam filsafat Yunani kuno, arche merujuk pada substansi primordial, elemen dasar, atau prinsip fundamental yang menjadi asal mula, esensi, dan fondasi dari segala sesuatu di alam semesta. Thales adalah filsuf pertama yang secara eksplisit mencari satu substansi tunggal yang mendasari keberadaan, sebuah upaya untuk menemukan kesatuan di balik keberagaman fenomena alam.
Bagi Thales, Air adalah arche atau elemen dasar yang menjadi asal mula dan esensi dari segala sesuatu di alam semesta. Mungkin terdengar aneh bagi kita di era modern, namun penalaran Thales ini, meskipun sederhana, didasarkan pada observasi empiris yang cermat dan sangat revolusioner pada masanya.
Mengapa Thales memilih air? Ia mengamati bahwa air adalah elemen yang ada di mana-mana dalam berbagai bentuk: hujan turun dari langit, lautan membentang luas, sungai mengalir, dan danau terhampar. Ia melihat bahwa air adalah esensi kehidupan; tanpa air, tidak ada makhluk hidup yang bisa bertahan. Semua kehidupan, baik tumbuhan, hewan, maupun manusia, sangat bergantung pada air. Ia juga memperhatikan bahwa benih membutuhkan kelembapan untuk tumbuh, dan makanan yang kita konsumsi mengandung air. Kehidupan berasal dari kelembapan, dan makanan kita mengandung air.
Lebih lanjut, Thales mengamati kemampuan air untuk berubah bentuk: ia bisa padat (es), cair (air), dan gas (uap). Transformasi ini menunjukkan fleksibilitas dan kemampuan air untuk bermanifestasi dalam berbagai wujud, yang mungkin menguatkan keyakinannya bahwa air adalah substansi dasar yang dapat menjadi segala sesuatu. Ia bahkan berpendapat bahwa bumi mengapung di atas lautan air, dan gempa bumi terjadi ketika bumi terombang-ambing di atas air tersebut. Meskipun ide ini keliru secara ilmiah, ia menunjukkan upaya Thales untuk menjelaskan struktur dunia secara alami, bukan supranatural.
Meskipun dari sudut pandang ilmiah modern ide bahwa air adalah segalanya mungkin terdengar sederhana atau bahkan naif, signifikansi teori Thales ini bukan pada kebenarannya secara ilmiah, melainkan pada metodologinya. Ia adalah yang pertama mencoba menjelaskan realitas melalui satu prinsip material yang dapat diamati, bukan dari kekuatan supernatural atau kehendak dewa. Ini adalah langkah monumental menuju pemikiran sistematis dan ilmiah.
Thales adalah orang pertama yang mengusulkan monisme materialistik, yaitu pandangan bahwa hanya ada satu substansi material dasar yang membentuk segala sesuatu. Gagasan bahwa ada satu elemen dasar yang mendasari semua keberadaan adalah sebuah terobosan intelektual yang membuka jalan bagi para filsuf alam (Milesian lain seperti Anaximander dan Anaximenes) untuk mencari arche lainnya—seperti “apeiron” (yang tak terbatas) oleh Anaximander atau udara oleh Anaximenes. Pada akhirnya, pencarian ini berujung pada pengembangan teori empat elemen (api, air, udara, tanah) oleh Empedokles dan kemudian teori atom oleh Demokritus.
Penting untuk ditekankan bahwa Thales tidak hanya mengamati; ia menyimpulkan. Ia tidak hanya melihat fenomena, tetapi mencoba menemukan prinsip universal di baliknya. Ini adalah esensi dari pemikiran filosofis dan ilmiah: mencari hukum-hukum fundamental yang mengatur alam semesta. Dengan air sebagai arche, Thales meletakkan dasar bagi ontologi (studi tentang keberadaan dan hakikat realitas) dan kosmologi (studi tentang asal mula dan struktur alam semesta) yang terus menjadi fokus studi hingga kini.
Konsep Hylozoisme: Materi yang Hidup dan Bernyawa
Selain pandangannya yang revolusioner tentang air sebagai arche, Thales juga dikenal dengan konsep hylozoisme. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, “hylos” yang berarti “materi” dan “zoe” yang berarti “kehidupan”. Secara harfiah, hylozoisme berarti “materi yang hidup” atau “materi yang memiliki kehidupan”. Konsep ini mungkin terdengar asing bagi kita yang terbiasa dengan pemisahan tegas antara benda mati (inanimasi) dan benda hidup (animasi). Namun, bagi Thales, pemisahan tersebut tidaklah relevan atau bahkan tidak ada.
Thales percaya bahwa materi itu sendiri memiliki semacam energi, gerakan, atau ‘jiwa’ yang melekat padanya. Ia tidak membedakan secara tegas antara materi dan jiwa atau semangat. Baginya, alam semesta adalah sebuah entitas yang hidup dan bernapas, di mana setiap bagian, bahkan yang kita anggap “mati”, memiliki vitalitas intrinsik. Pandangan ini sangat berbeda dari mitologi yang menganggap benda mati hanya digerakkan oleh kehendak dewa-dewi dari luar, atau pandangan dualisme yang memisahkan jiwa dari tubuh.
Untuk mendukung pandangan ini, Thales menggunakan contoh-contoh dari observasinya. Ia mengamati bahwa magnet bisa menarik besi, dan amber (getah pohon yang mengeras) yang digosok bisa menarik benda-benda ringan (fenomena listrik statis, yang menjadi asal kata “elektron” dari bahasa Yunani untuk amber). Bagi Thales, ini bukan karena ada dewa yang menggerakkan magnet atau amber, melainkan karena magnet itu sendiri memiliki ‘jiwa’ atau kekuatan intrinsik untuk bergerak dan memengaruhi benda lain. Ia melihat fenomena ini sebagai bukti bahwa bahkan benda-benda yang kita anggap “mati” memiliki kekuatan internal, sebuah bentuk kehidupan atau dinamisme yang tersembunyi.
Jadi, dalam pandangan Thales, alam semesta bukanlah kumpulan benda mati yang digerakkan oleh kekuatan eksternal. Sebaliknya, ia melihat alam semesta sebagai organisme hidup di mana setiap bagian memiliki dinamisme dan vitalitasnya sendiri. Batu, air, dan bahkan udara memiliki semacam “kehidupan” atau prinsip gerak di dalamnya. Ini adalah pandangan yang sangat organik tentang alam semesta, di mana segala sesuatu saling terkait dan bergerak secara inheren, bukan sebagai hasil dari intervensi eksternal.
Konsep hylozoisme ini menunjukkan bagaimana Thales berusaha menjelaskan fenomena alam semesta secara holistik dan naturalistik. Ia mencari penjelasan di dalam alam itu sendiri, tanpa perlu melibatkan entitas eksternal atau supernatural. Ini adalah bagian integral dari upayanya untuk merasionalisasi dunia dan menghilangkan ketergantungan pada mitos. Hylozoisme juga dapat dilihat sebagai bentuk awal dari materialisme monistik, di mana materi adalah realitas fundamental dan memiliki karakteristik hidup. Meskipun pandangan ini mungkin tidak lagi diterima secara harfiah dalam sains modern yang membedakan antara benda hidup dan mati berdasarkan kriteria biologis, gagasan bahwa ada prinsip-prinsip internal yang mengatur gerak dan interaksi materi adalah fondasi bagi fisika dan kimia. Thales secara implisit menantang dualisme yang memisahkan materi dan roh, mengajukan pandangan yang lebih terpadu tentang realitas.
Pemikiran Thales ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam upaya memahami alam semesta secara rasional. Ia tidak hanya mencoba mengidentifikasi substansi dasar, tetapi juga mencoba memahami bagaimana substansi tersebut berinteraksi dan menampilkan fenomena yang kita amati. Dengan demikian, hylozoisme adalah bagian penting dari upaya Thales untuk membangun pandangan dunia yang koheren dan mandiri dari penjelasan mitologis.
Warisan Abadi Thales: Bapak Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Setelah menjelajahi kehidupan dan pemikiran Thales—dari latar belakangnya di Miletus yang kosmopolitan, revolusi rasionalnya yang menyingkirkan mitos, pencarian arche dalam air, hingga konsep hylozoisme—kita dapat menyimpulkan bahwa perannya dalam sejarah intelektual manusia sungguh luar biasa. Thales mungkin tidak meninggalkan tulisan, dan teorinya tentang air sebagai arche mungkin tampak primitif bagi kita di era modern, namun warisan terbesarnya bukanlah pada detail teorinya, melainkan pada semangat dan metodologinya.
Thales adalah mercucu pertama yang menyala di kegelapan mitologi. Ia adalah yang pertama kali mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang alam semesta dengan cara yang rasional dan sistematis. Sebelum dia, manusia bertanya “siapa yang melakukannya?” dalam konteks dewa-dewi. Thales mengubah pertanyaan itu menjadi “bagaimana cara kerjanya?” — sebuah pergeseran paradigma yang membuka jalan bagi seluruh tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan Barat.
Kontribusinya dapat dirangkum dalam beberapa poin kunci yang membentuk dasar pemikiran Barat:
- Pelopor Rasionalitas: Thales adalah yang pertama menuntut penjelasan alamiah, bukan supernatural. Ini adalah fondasi bagi semua penyelidikan ilmiah dan pemikiran kritis yang kita kenal. Ia membebaskan akal manusia dari belenggu takhayul.
- Pencarian Prinsip Dasar (Arche): Ide bahwa ada satu substansi fundamental yang mendasari segala sesuatu, meskipun sederhana, adalah langkah pertama menuju teori-teori unifikasi dalam fisika modern. Ini mendorong pemikiran untuk mencari kesatuan di balik keberagaman.
- Pengamatan Empiris dan Penalaran Logis: Thales mendasarkan teorinya pada observasi dunia nyata (air ada di mana-mana, penting untuk kehidupan, dll.) dan penalaran logis. Ini adalah embrio dari metode ilmiah.
- Fondasi Kosmologi dan Ontologi: Dengan bertanya tentang asal mula dan hakikat alam semesta, Thales meletakkan dasar bagi studi kosmologi (struktur alam semesta) dan ontologi (hakikat keberadaan).
- Penggabungan Teori dan Praktik: Kisah-kisah tentang prediksinya terhadap gerhana atau panen zaitun menunjukkan bahwa ia tidak hanya seorang pemikir abstrak, tetapi juga mampu menerapkan pengetahuannya untuk memahami dan bahkan memanipulasi dunia nyata.
Thales adalah Bapak Filsafat Barat karena ia yang pertama membawa pemikiran dari ranah mitos ke ranah akal budi. Ia membuka jalan bagi para filsuf presokratik lainnya seperti Anaximander dan Anaximenes, yang melanjutkan pencarian arche. Pemikirannya menjadi fondasi bagi tradisi pemikiran Yunani klasik yang puncaknya ada pada Plato dan Aristoteles, yang kemudian memengaruhi seluruh peradaban Barat.
Lebih dari itu, Thales juga adalah Bapak Ilmu Pengetahuan. Metode investigasi yang ia perkenalkan—mengamati, bertanya, berspekulasi berdasarkan bukti, dan mencari penjelasan universal—adalah inti dari metode ilmiah. Tanpa keberanian dan wawasan Thales untuk melihat dunia sebagai sesuatu yang dapat dipahami dan dijelaskan secara rasional, perkembangan fisika, astronomi, biologi, dan bidang-bidang ilmiah lainnya mungkin tidak akan pernah terjadi atau akan tertunda sangat lama. Ia mengajarkan kita bahwa dunia adalah sebuah buku yang dapat kita baca dan pahami, asalkan kita berani menggunakan akal kita.
Kesimpulan: Relevansi Pemikiran Thales di Era Modern
Di tengah kompleksitas dunia modern yang didominasi oleh teknologi canggih, data raksasa, dan teori-teori ilmiah yang rumit, apa relevansi pemikiran Thales yang sederhana? Jawabannya terletak pada semangat fundamental yang ia wariskan kepada kita.
Pertama, semangat untuk bertanya “mengapa?” dan mencari penjelasan rasional tetap menjadi inti dari setiap penemuan baru. Di era informasi yang membanjiri kita dengan fakta, kemampuan untuk berpikir kritis, mempertanyakan asumsi, dan mencari akar masalah adalah keterampilan yang tak ternilai harganya, khususnya bagi mahasiswa, guru, dan dosen. Thales mengingatkan kita bahwa setiap kemajuan dimulai dengan sebuah pertanyaan yang berani.
Kedua, pentingnya observasi empiris. Meskipun Thales tidak memiliki teleskop atau mikroskop, ia mengandalkan pengamatan tajam terhadap fenomena di sekitarnya. Di dunia di mana kita cenderung terlalu bergantung pada simulasi atau model digital, Thales mengingatkan kita untuk kembali ke dasar: melihat, merasakan, dan menganalisis dunia nyata. Ini adalah pelajaran fundamental bagi guru dalam mendidik siswa tentang metode ilmiah, dan bagi dosen dalam melakukan penelitian.
Ketiga, pencarian kesatuan di balik keberagaman. Ide Thales tentang arche sebagai prinsip dasar universal, meskipun ia memilih air, mencerminkan keinginan manusia untuk menemukan hukum-hukum yang mendasari segala sesuatu. Ini relevan dengan upaya ilmu pengetahuan modern yang terus mencari teori unifikasi, seperti Teori Segala Sesuatu (Theory of Everything) dalam fisika, yang ingin menyatukan semua gaya fundamental alam semesta. Semangat ini menunjukkan bahwa pencarian makna dan tatanan dalam alam semesta adalah dorongan abadi dalam diri manusia.
Keempat, penolakan terhadap penjelasan yang tidak berdasar. Di era di mana “berita palsu” (hoax) dan teori konspirasi mudah menyebar, kemampuan untuk membedakan antara fakta dan fiksi, antara argumen yang didukung bukti dan klaim yang tidak berdasar, adalah krusial. Thales mengajarkan kita untuk tidak puas dengan narasi yang nyaman tetapi tidak rasional, dan untuk selalu mencari kebenaran dengan akal budi kita sendiri. Ini adalah pelajaran penting bagi siapa pun yang terlibat dalam pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan.
Singkatnya, Thales adalah sebuah pengingat bahwa fondasi peradaban intelektual kita terletak pada keberanian untuk berpikir bebas, mempertanyakan segala sesuatu, dan mencari kebenaran melalui akal dan observasi. Ia adalah arsitek pertama dari jembatan yang menghubungkan alam pikiran mitos dengan alam pikiran ilmiah dan filosofis. Mempelajari Thales bukan hanya tentang menengok masa lalu, tetapi juga tentang merayakan esensi dari rasa ingin tahu, rasionalitas, dan semangat penyelidikan yang terus mendorong kemajuan manusia hingga detik ini. Mari kita terus menyalakan obor yang pertama kali dinyalakan oleh Thales di Miletus, ribuan tahun yang lalu.
Responses