CINULU.id – Wacana untuk menjadikan kurikulum kesehatan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah kembali mengemuka setelah dilontarkan dengan tegas oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin. Usulan ini merupakan bagian dari pergeseran fokus kebijakan kesehatan nasional dari pengobatan (kuratif) menjadi pencegahan (promotif-preventif).
Gagasan ini memunculkan diskursus publik karena bersinggungan dengan arah kebijakan pendidikan saat ini, yaitu Kurikulum Merdeka, yang mengedepankan fleksibilitas dan perampingan materi. Berikut adalah ulasan faktual mengenai latar belakang wacana tersebut, kolaborasi yang telah berjalan, dan tanggapan dari berbagai pemangku kepentingan.
Latar Belakang Usulan Menteri Kesehatan
Dorongan untuk memasukkan kurikulum kesehatan secara wajib ke sekolah berakar pada perubahan paradigma yang diusung Menkes Budi Gunadi Sadikin. Dalam sebuah kuliah umum di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada Sabtu, 11 November 2023, beliau menekankan bahwa konsep kesehatan yang benar adalah “menjaga orang tetap sehat bukan mengobati orang sakit.” Ini adalah upaya untuk mengubah alokasi anggaran Kementerian Kesehatan yang menurutnya sekitar 80% terserap untuk urusan kuratif.
Gagasan ini diperkuat oleh temuan dari program Cek Kesehatan Gratis (CKG). Saat berada di Solo pada Jumat, 11 April 2025, Menkes menyebut sebuah fakta “memalukan”, di mana masalah gigi dan mulut menjadi salah satu temuan terbanyak di antara jutaan masyarakat yang diperiksa. Temuan ini, ditambah data bahwa sekitar 50% puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter gigi, dipandang sebagai sinyal perlunya penguatan edukasi kesehatan dasar.
Puncaknya, dalam paparannya di Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, pada Senin, 11 Agustus 2025, Menkes secara terbuka menyatakan, “Kita sedang membujuk Pak Mendikdasmen agar menjadikannya kurikulum wajib.” Beliau menunjuk Singapura sebagai contoh negara yang berhasil menanamkan pentingnya menjaga kesehatan kepada warganya sejak usia sekolah.
“Jadi, tujuannya agar setiap orang itu sejak dini sudah memahami pentingnya menjaga kesehatan,” kata Menkes di Padang.
Kolaborasi yang Telah Berjalan tentang Kurikulum Kesehatan
Sebelum wacana kewajiban ini muncul, kolaborasi antar kementerian telah terjalin. Pada 4 Desember 2023, di Balai Sudirman, Jakarta, Kementerian Kesehatan, Kemendikbudristek, dan Kementerian Agama menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) untuk mengintegrasikan materi kesehatan ke dalam Kurikulum Merdeka.
Hasil dari kerja sama ini adalah pengembangan “Perangkat Ajar Kesehatan” yang dapat diakses guru secara opsional melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM). Materinya mencakup 22 topik, seperti gizi, sanitasi, kesehatan jiwa, hingga kesiapsiagaan bencana, yang dikemas dalam berbagai format, termasuk komik.
Pernyataan “membujuk” dari Menkes mengindikasikan adanya dorongan untuk mengubah pendekatan dari yang semula bersifat sukarela (pull strategy) menjadi sebuah kewajiban (push strategy) dalam struktur kurikulum.
Rincian Materi dan Potensi Tumpang Tindih Kebijakan
Dalam kesempatan di Padang, Menkes menjelaskan bahwa kurikulum yang diusulkan akan mencakup pengetahuan dasar higienitas, gizi, hingga keterampilan praktis menghadapi situasi darurat seperti gempa bumi dan cara menangani luka.
Salah satu contoh spesifik yang diungkapkan adalah mengajarkan siswa cara memberikan penjelasan kepada orang tua mereka yang perokok. “Bahkan dalam kurikulum tersebut, anak didik juga diajarkan untuk menegur atau menjelaskan kepada masing-masing orang tua perokok terkait bahaya terpapar asap rokok,” ungkapnya.
Usulan penambahan materi wajib ini muncul di tengah implementasi Kurikulum Merdeka, yang salah satu tujuannya adalah menyederhanakan konten. Berdasarkan kajian internal Kemendikbudristek, kurikulum yang terlalu padat dinilai menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas pembelajaran. Kurikulum Merdeka dirancang untuk lebih fleksibel dan fokus pada materi esensial untuk memberi keleluasaan bagi guru dan sekolah.
Tanggapan Para Pemangku Kepentingan
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi yang spesifik dari Mendikbudristek maupun Mendikdasmen terkait pernyataan “bujukan” Menkes. Respons yang ada cenderung menegaskan kembali komitmen kolaborasi yang sudah terjalin. Kepala BSKAP Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, dalam berbagai kesempatan konsisten menekankan bahwa esensi Kurikulum Merdeka adalah fleksibilitas dan keleluasaan bagi guru, bukan menambah beban baru.
Dari kalangan pendidik, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pernah menyampaikan rekomendasi agar pemerintah lebih fokus pada peningkatan kualitas guru ketimbang mengganti kurikulum, karena pergantian kurikulum dinilai akan selalu membuat pendidik dan peserta didik memulai dari nol lagi. Sementara itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), melalui Kode Etik Guru, menyatakan bahwa guru memiliki kewajiban profesional untuk menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik.
Dari sektor kesehatan, organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan akademisi kemungkinan secara umum mendukung upaya promotif dan preventif. Namun, mereka juga menekankan pentingnya standar dalam pendidikan, termasuk akurasi materi ajar dan kompetensi tenaga pengajar. Kalangan akademisi kesehatan masyarakat juga menyoroti perlunya penggunaan data dan analisis kebijakan yang komprehensif, serta integrasi dengan program kesehatan sekolah yang sudah ada seperti Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
Tantangan Implementasi Kurikulum Kesehatan
Implementasi kebijakan ini dihadapkan pada sejumlah tantangan di lapangan. Beberapa studi dan laporan menunjukkan adanya kendala dalam penerapan kurikulum baru, seperti kesiapan sumber daya manusia, di mana masih banyak guru yang memerlukan pemahaman dan pelatihan lebih lanjut.
Selain itu, terdapat tantangan kesenjangan infrastruktur dan sumber daya antar sekolah, terutama di daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T). Faktor eksternal seperti lingkungan keluarga dan masyarakat yang belum sepenuhnya mendukung pembiasaan hidup sehat juga menjadi kendala. Isu seperti peredaran jajanan tidak sehat di sekitar sekolah dan paparan iklan rokok merupakan contoh tantangan nyata di lingkungan peserta didik.
Wacana untuk mewajibkan kurikulum kesehatan di sekolah yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan merupakan cerminan dari pergeseran fokus kebijakan ke arah promotif dan preventif. Usulan ini didasari oleh temuan data kesehatan di lapangan. Namun, gagasan ini hadir di tengah implementasi Kurikulum Merdeka yang berprinsip pada penyederhanaan dan fleksibilitas. Berbagai pemangku kepentingan telah memberikan tanggapan yang beragam, menyoroti aspek-aspek seperti kualitas guru, beban kurikulum, dan tantangan implementasi di lapangan. Keberlanjutan dari wacana ini akan bergantung pada dialog dan koordinasi kebijakan antara sektor kesehatan dan pendidikan.
Responses